Oleh: Ev.
Imanuel Adhitya W. Ch., S.E, M.Pd
A.
Latar Belakang
Erik
H. Erikson dalam bukunya yang berjudul, Childhood
and Society (2010), mengatakan bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang
sangat penting untuk pembentukan kepribadian dan karakter. Dengan demikian,
masa kanak-kanak adalah suatu tahap di mana manusia itu belajar
sebanyak-banyaknya tentang kehidupan sebagai modal hidupnya kelak. Sebab pada
masa itu, manusia bersifat imitatif atau menirukan sesuatu yang terjadi di lingkungan
sekitar di mana ia tinggal.
Menyikapi hal di
atas, maka betapa pentingnya bagi setiap kita untuk memahami serta menciptakan
pola pelayanan anak yang kreatif dan dinamis guna mewadahi potensi dan daya
kreativitas anak sejak usia dini. Salah satu caranya adalah melalui pelayanan
ibadah anak atau biasa kita kenal dengan istilah Ibadah Sekolah Minggu (Sunday School Service ). Melalui pelayanan
ibadah Sekolah Minggu ini diharapkan, perkembangan kepribadian dan karakter
anak serta daya kreativitasnya dapat disalurkan, sehingga mereka mengalami
pertumbuhan fisik dan mental secara optimal. Namun, sungguh sangat disayangkan
sering kita jumpai ibadah Sekolah Minggu terkadang dianggap sebagai pelayanan “sampingan”
gereja, karena secara proporsional gereja memang seringkali memberikan
pelayanan yang jauh lebih besar kepada jemaat dewasa dibandingkan kepada
anak-anak. Oleh sebab itu, melalui pelatihan ini mari kita belajar lebih jauh
tentang prinsip dasar penatalayanan ibadah anak yang kreatif dan dinamis,
sehingga pelayanan anak dapat berkembang dengan baik untuk hormat dan kemuliaan
nama Tuhan.
B. Mengapa Pelayanan Anak itu Penting?
Mengapa pelayanan anak itu penting? Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun seringkali
kita sulit untuk menjawabnya, bukan? Pdt. Ir. Jarot Wijanarko dalam buku Visi Pelayanan Anak
(Membangun Generasi Baru), mengatakan ada 2 (dua) alasan mengapa pelayanan anak itu penting.
Berikut ini akan diuraikan secara lengkap kedua alasan tersebut (Wijanarko, 2001, hal. 19):
§ Pertama, pelayanan anak adalah ladang
paling produktif untuk menghasilkan "buah kerajaan". Mengapa? Jelas siapa pun engkau, apa pun bakatmu,
seberapa engkau pandai berbicara atau tidak, suka anak atau tidak, saya percaya
bahwa jauh lebih mudah mengajak anak menerima Yesus dari pada mengajak pemuda,
mahasiswa, apalagi orang tua yang sudah punya konsep sendiri.
§ Kedua,
pelayanan anak adalah ladang paling produktif untuk menghasilkan
"buah-buah roh".
Jika
tujuan pelayanan dan hidup saudara untuk mengumpulkan buah-buah roh, maka
sebagai guru sekolah minggu saudara sudah berada di ladang yang paling
produktif. Namun, jika nama, pujian, jabatan, ingin tampil di mimbar, persembahan
kasih yang besar dan hal-hal sejenis ini yang saudara cari, maka saudara tidak cocok untuk pelayanan ini, karena
hal-hal semacam ini bahkan tidak ada atau sedikit saja ada di area pelayanan
anak.
C. Sejarah Ibadah Sekolah
Minggu
Ibadah Sekolah Minggu yang
kita kenal dan layani sampai saat ini memiliki sejarah yang menarik untuk
disimak dan sangat menginspirasi, agar kita lebih sungguh-sungguh lagi dalam
melaksanakan tugas pelayanan ibadah anak di gereja lokal. Berikut ini adalah ringkasan
sejarah ibadah sekolah minggu berdasarkan kisah nyata (based on true story) yang disadur dari Materi Pengenalan Sekolah
Minggu (Sabda, 2011):
Pada masa akhir abad ke-18, Inggris
sedang dilanda suatu krisis ekonomi yang sangat parah. Setiap orang bekerja
keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan anak-anak dipaksa bekerja untuk
bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Pada saat itu, wartawan Robert Raikes mendapat tugas untuk
meliput berita tentang anak-anak gelandangan di Gloucester bagi sebuah harian
(koran) milik ayahnya. Apa yang dilihat Robert sangat memprihatinkan sebab
anak- anak gelandangan itu harus bekerja dari hari Senin sampai Sabtu. Apa yang
dilakukan anak-anak pada hari Minggu itu? Hari Minggu adalah satu-satunya hari
libur bagi mereka yang dihabiskan untuk bersenang-senang. Tapi karena mereka
tidak pernah mendapat pendidikan (karena tidak bersekolah), anak-anak itu
menjadi sangat liar. Mereka minum-minum dan melakukan berbagai macam kenakalan
dan kejahatan.
Melihat keadaan itu Robert Raikes
bertekad untuk mengubah keadaan. Ia dengan beberapa teman mencoba melakukan
pendekatan kepada anak-anak tersebut dengan mengundang mereka berkumpul di
sebuah dapur milik Ibu Meredith di
kota Scooty Alley. Selain mendapat makanan, di sana mereka juga diajarkan sopan
santun termasuk membaca dan menulis. Tapi hal paling indah yang diterima
anak-anak di situ adalah mereka mendapat kesempatan mendengar cerita-cerita
Alkitab. Pada mulanya pelayanan ini sangat tidak mudah. Banyak anak yang datang
dalam keadaan yang sangat kotor dan berbau. Namun, dengan cara mendidik yang
disiplin, kadang dengan pukulan rotan yang dilakukan dengan penuh cinta kasih,
anak-anak itu akhirnya belajar untuk mau dididik dengan baik, sehingga semakin
lama semakin banyak anak yang datang ke dapur Ibu Meredith. Semakin banyak juga
guru yang disewa untuk mengajar mereka, bukan hanya untuk belajar membaca dan
menulis tapi juga Firman Tuhan; perjuangan yang sangat sulit tapi melegakan.
Dalam waktu empat tahun sekolah yang diadakan pada hari Minggu itu semakin
berkembang bahkan ke kota-kota lain di Inggris. Dan jumlah anak-anak yang
datang ke sekolah hari minggu terhitung mencapai 250.000 anak di seluruh
Inggris.
Mula-mula, gereja tidak mengakui
kehadiran gerakan Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert Raikes ini. Tetapi
karena kegigihannya menulis ke berbagai publikasi dan membagikan visi pelayanan
anak ke masyarakat Kristen di Inggris, dan juga atas bantuan John Wesley (pendiri gereja Methodis),
akhirnya kehadiran Sekolah Minggu diterima oleh gereja. Mula-mula hanya oleh
gereja Methodis, namun akhirnya juga oleh gereja-gereja Protestan lain. Ketika
Robert Raikes meninggal dunia tahun 1811, jumlah anak yang hadir di Sekolah
Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Dari pelayanan anak
ini, Inggris tidak hanya diselamatkan dari revolusi sosial, tapi juga
diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal Tuhan.
Gerakan Sekolah Minggu yang dimulai di
Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di dunia, termasuk
negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika. Dan dari para misionaris yang pergi
melayani ke negara-negara Asia, akhirnya pelayanan anak melalui Sekolah Minggu
juga hadir di Indonesia.
D. Prinsip Dasar Penatalayanan Anak
Membangun sebuah pelayanan
anak yang kreatif dan dinamis tidak terlepas dari bagaimana cara mendidik anak dalam
kebenaran firman Allah yang benar, sehingga setiap dari mereka mengalami
pertumbuhan secara rohani ke arah Kristus (Kol. 2:6-7), seiring dengan
perkembangan fisik dan mental anak. Pelayanan anak pada masa perjanjian lama dan
masa perjanjian baru menunjukkan sebuah hubungan yang erat dan bersifat saling
melengkapi mengenai bagaimana cara mendidik anak untuk semakin dekat dengan
Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Berikut ini akan diuraikan pola pelayanan
anak pada masa perjanjian lama dan masa perjanjian baru tersebut secara lengkap
berdasarkan data yang telah diringkas dari Pendalaman Alkitab Sabda (2011):
1. Pelayanan Anak Pada Masa Perjanjian Lama
Kalau kita menelusuri kembali zaman Perjanjian Lama berdasarkan kajian teologis terhadap kitab Ulangan 6:4-7, maka sebenarnya Alkitab telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembinaan rohani anak. Pada masa itu pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga, karena sejak sebelum usia lima tahun anak telah dididik oleh orang tuanya untuk mengenal Allah dengan benar. Pada masa pembuangan di Babilonia (sekitar tahun 500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah Sinagoge di mana mereka dapat belajar firman Tuhan kembali, termasuk di antara mereka adalah anak-anak. Orang tua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah lima tahun ke Sinagoge. Di tempat inilah mereka dididik oleh guru-guru yang ahli kitab taurat agar mengerti prinsip kebenaran ilahi yang ditulis oleh Musa. Proses pendidikan berlangsung dengan cara anak-anak dikelompokkan dalam sebuah kelas dengan jumlah murid maksimum 25 orang yang dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru menjadi fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka.
Kalau kita menelusuri kembali zaman Perjanjian Lama berdasarkan kajian teologis terhadap kitab Ulangan 6:4-7, maka sebenarnya Alkitab telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembinaan rohani anak. Pada masa itu pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga, karena sejak sebelum usia lima tahun anak telah dididik oleh orang tuanya untuk mengenal Allah dengan benar. Pada masa pembuangan di Babilonia (sekitar tahun 500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah Sinagoge di mana mereka dapat belajar firman Tuhan kembali, termasuk di antara mereka adalah anak-anak. Orang tua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah lima tahun ke Sinagoge. Di tempat inilah mereka dididik oleh guru-guru yang ahli kitab taurat agar mengerti prinsip kebenaran ilahi yang ditulis oleh Musa. Proses pendidikan berlangsung dengan cara anak-anak dikelompokkan dalam sebuah kelas dengan jumlah murid maksimum 25 orang yang dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru menjadi fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka.
2. Pelayanan Anak Pada Masa Perjanjian Baru
Menurut hasil investigasi alkitab yang dilakukan oleh para teolog dalam surat I Timotius 3:15, menyatakan bahwa ketika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diizinkan pulang ke Palestina, mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah Sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian Baru. Sebagaimana anak-anak Yahudi yang lain, ketika masih kecil Tuhan Yesus juga menerima pengajaran Taurat di Sinagoge. Dan pada usia dua belas tahun Yesus sanggup bertanya jawab dengan para ahli Taurat di Bait Allah. Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Tim. 3:15) dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk mendidik anak perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di Sinagoge, tetapi di gereja tempat jemaat Tuhan berkumpul. Tetapi sayang sekali pada abad pertengahan gereja tidak lagi memelihara kebiasaan mendidik anak seperti abad-abad sebelumnya. Bahkan orang dewasa pun tidak lagi mendapatkan pengajaran firman Tuhan dengan baik. Barulah pada masa Reformasi, gerakan pengembalian kepada pengajaran Alkitab dibangkitkan lagi, dan pendidikan terhadap anak-anak mulai digalakkan kembali, khususnya melalui kelas Katekismus (kateksasi). Untuk itu, hanya para pekerja gereja sajalah yang diizinkan untuk terlibat dalam pembinaan. Namun, kurangnya orang yang terlatih untuk mengajarkan kelas Katekismus menyebabkan pelayanan anak menjadi mundur bahkan perlahan-lahan tidak lagi menjadi perhatian utama gereja dan diadakan hanya sebagai prasyarat bagi anak-anak yang akan menerima konfirmasi (baptis sidi).
Menurut hasil investigasi alkitab yang dilakukan oleh para teolog dalam surat I Timotius 3:15, menyatakan bahwa ketika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diizinkan pulang ke Palestina, mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah Sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian Baru. Sebagaimana anak-anak Yahudi yang lain, ketika masih kecil Tuhan Yesus juga menerima pengajaran Taurat di Sinagoge. Dan pada usia dua belas tahun Yesus sanggup bertanya jawab dengan para ahli Taurat di Bait Allah. Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Tim. 3:15) dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk mendidik anak perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di Sinagoge, tetapi di gereja tempat jemaat Tuhan berkumpul. Tetapi sayang sekali pada abad pertengahan gereja tidak lagi memelihara kebiasaan mendidik anak seperti abad-abad sebelumnya. Bahkan orang dewasa pun tidak lagi mendapatkan pengajaran firman Tuhan dengan baik. Barulah pada masa Reformasi, gerakan pengembalian kepada pengajaran Alkitab dibangkitkan lagi, dan pendidikan terhadap anak-anak mulai digalakkan kembali, khususnya melalui kelas Katekismus (kateksasi). Untuk itu, hanya para pekerja gereja sajalah yang diizinkan untuk terlibat dalam pembinaan. Namun, kurangnya orang yang terlatih untuk mengajarkan kelas Katekismus menyebabkan pelayanan anak menjadi mundur bahkan perlahan-lahan tidak lagi menjadi perhatian utama gereja dan diadakan hanya sebagai prasyarat bagi anak-anak yang akan menerima konfirmasi (baptis sidi).
E.
Panggilan Untuk Melayani dan Memahami Rencana Tuhan
Bagi Anak-Anak
Sebagai
pelayan Tuhan, kita telah dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam membentuk
anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Ini merupakan tanggung jawab
yang sangat besar. Melalui kita, Tuhan ingin agar anak-anak ini mengenal
Pencipta mereka; bertemu dengan Dia dan diubahkan menjadi ciptaan baru.
Pelayanan anak atau Sekolah Minggu tidak semata-mata dibentuk untuk mendidik
mereka menjadi anak-anak manis yang mempunyai sikap baik budi. Itu bukan tujuan
utama Tuhan bagi anak-anak. Tapi, pertama, mereka harus berjumpa secara pribadi
dengan Tuhan Yesus Kristus (Mrk. 10:13-16), dan apa yang telah dimulai
oleh-Nya, akan disempurnakan-Nya pula.
Pendidikan
rohani melalui pelayanan anak atau Sekolah Minggu akan menjadi dasar
pertumbuhan rohani seorang anak untuk dapat mengenal kebenaran Alkitab,
menyembah dan memuji Tuhan, serta mengasihi pekerjaan-Nya. Apabila mereka telah
dimenangkan, generasi selanjutnya juga telah dimenangkan karena merekalah generasi
penerus dan calon pemimpin bagi generasi yang akan datang. Tidak bisa disangkal
bahwa 50% anggota jemaat gereja pada umumnya berasal dari anggota Sekolah
Minggu. Oleh karena itu, kita perlu melayani anak-anak dan memberi perhatian
besar kepada mereka. Jika kita memenangkan anak-anak, kita tahu kita sedang
memenangkan gereja di masa depan.
Apabila kita berbicara tentang rencana Tuhan dalam hidup manusia, maka
hal ini tidaklah terlepas juga dari rencana Tuhan terhadap anak-anak. Beberapa
hal yang menjadi alasan mengapa setiap kita harus memahami dengan benar rencana
Tuhan atas hidup anak-anak tersebut:
1. Tuhanlah yang membentuk manusia sejak dia masih bakal
anak di dalam kandungan ibunya, sekaligus merancang kehidupan yang akan
dilaluinya (Mazmur 139:13-16).
2. Tuhan juga ingin memulihkan bangsa Israel dengan
membentuk generasi baru yang bisa masuk ke tanah Kanaan (tanah perjanjian); dan
hanya generasi yang berusia 20 tahun ke bawah yang diijinkan oleh Tuhan untuk
masuk ke tanah perjanjian, termasuk di dalamnya adalah kelompok usia anak-anak
(Bilangan 21:4-9).
3. Tuhan juga merencanakan pembangunan Yerusalem baru
yang penuh dengan anak-anak laki-laki dan perempuan yang bermain di jalanan
(Zakaria 8:3).
4. Sejak kejatuhan manusia dalam dosa, anak-anak yang
lahir telah mewarisi dosa (Mazmur 51:7), dan anak-anak juga akan menghadap
takhta pengadilan Allah (Wahyu 20:12-15). Oleh karena itu, anak-anak juga
membutuhkan keselamatan dari Tuhan (Matius 18:14). Melalui kuasa kelahiran baru
yang dikerjakan oleh Roh Kudus, maka Tuhan memberikan rencana baru bagi
manusia, termasuk anak-anak. Mereka akan bertumbuh menjadi milik kepunyaan-Nya
dan berkarya bagi kemuliaan-Nya (Roma 11:36).
5. Anak-anak memiliki hati yang lemah lembut, merupakan
tanah yang baik dan ladang rohani yang paling cocok untuk ditanami kebenaran
Alkitab. Alkitab pun mencatat bahwa anak-anak dapat percaya kepada Tuhan, dapat
menyesali dosanya, serta dapat memperoleh keselamatan dari Tuhan, bahkan orang
dewasa patut meneladani sikap anak-anak ini (Markus 10:15).
F.
Pentingnya Penatalayanan Pujian dan Penyembahan Dalam
Ibadah Anak
Sebelum kita membahas tentang bagaimana teknik memimpin pujian dan
penyembahan secara kreatif pada pelayanan ibadah anak atau kita kenal dengan
istilah sekolah minggu, maka penting bagi setiap pelayan anak, dalam hal ini
guru-guru sekolah minggu, untuk mengetahui alasan utama mengenai arti
pentingnya pujian dan penyembahan bagi anak dan perlunya persiapan khusus
sebelum melakukan pelayanan ini. Di bawah ini adalah beberapa alasan yang
melatarbelakangi pentingnya pelayanan pujian dan penyembahan dalam ibadah anak:
1. Untuk mempersiapkan hati anak
Keadaan anak ketika mereka datang ke Sekolah Minggu sangat beraneka-ragam. Ada anak yang datang dengan sedih, ada yang baru menangis, ada yang bercanda, berkelahi, dan sebagainya. Tetapi ketika guru mulai mengajak mereka menyanyi memuji Tuhan, hal-hal yang mengganggu tersebut dapat dilupakan. Anak mulai mengarahkan perhatiannya untuk bernyanyi dengan demikian hati mereka telah dipersiapkan untuk mendengar dan menerima Firman Tuhan.
Keadaan anak ketika mereka datang ke Sekolah Minggu sangat beraneka-ragam. Ada anak yang datang dengan sedih, ada yang baru menangis, ada yang bercanda, berkelahi, dan sebagainya. Tetapi ketika guru mulai mengajak mereka menyanyi memuji Tuhan, hal-hal yang mengganggu tersebut dapat dilupakan. Anak mulai mengarahkan perhatiannya untuk bernyanyi dengan demikian hati mereka telah dipersiapkan untuk mendengar dan menerima Firman Tuhan.
2. Memperdalam makna cerita
Melalui nyanyian yang berhubungan dengan cerita atau pelajaran Alkitab yang disampaikan oleh guru, maka anak akan lebih mudah mengingat isi cerita. Misalnya cerita tentang Nabi Nuh dan Istrinya; Sadrakh, Mesakh, dan Abednego; Larilah Lot dan Keluarganya; Naaman sakit kusta, dan sebagainya.
Melalui nyanyian yang berhubungan dengan cerita atau pelajaran Alkitab yang disampaikan oleh guru, maka anak akan lebih mudah mengingat isi cerita. Misalnya cerita tentang Nabi Nuh dan Istrinya; Sadrakh, Mesakh, dan Abednego; Larilah Lot dan Keluarganya; Naaman sakit kusta, dan sebagainya.
3. Menolong anak untuk bersaksi
Nyanyian yang dipelajari di Sekolah Minggu, seringkali dinyanyikan anak-anak di rumah. Melalui lagu-lagu tersebut, diharapkan anak dapat menjadi alat Tuhan untuk membawa keluarga dan teman-teman bermainnya mengenal Tuhan dengan lebih intim.
Nyanyian yang dipelajari di Sekolah Minggu, seringkali dinyanyikan anak-anak di rumah. Melalui lagu-lagu tersebut, diharapkan anak dapat menjadi alat Tuhan untuk membawa keluarga dan teman-teman bermainnya mengenal Tuhan dengan lebih intim.
4. Memberikan penghiburan bagi anak
Adakalanya anak mengalami kecemasan, kesedihan dan ketakutan yang mungkin tidak bisa diutarakan kepada siapapun. Syair lagu pujian yang sudah mereka hafal dapat menjadi penghiburan kepada mereka. Misalnya, lagu Ada Satu Sobatku Yang Setia.
Adakalanya anak mengalami kecemasan, kesedihan dan ketakutan yang mungkin tidak bisa diutarakan kepada siapapun. Syair lagu pujian yang sudah mereka hafal dapat menjadi penghiburan kepada mereka. Misalnya, lagu Ada Satu Sobatku Yang Setia.
5. Menolong anak untuk memiliki hubungan yang lebih intim
dengan Tuhan
Kadang-kadang anak dapat menjawab kesan yang diperoleh dari cerita melalui nyanyian. Misalnya, lagu pujjian Mari masuk, Haleluya saya mau cinta Yesus, dan sebagainya. Melalui pujian tersebut diharapkan anak akan merasa ingin selalu tinggal dalam dekapan kasih Tuhan setiap hari (living in God presence everyday).
Kadang-kadang anak dapat menjawab kesan yang diperoleh dari cerita melalui nyanyian. Misalnya, lagu pujjian Mari masuk, Haleluya saya mau cinta Yesus, dan sebagainya. Melalui pujian tersebut diharapkan anak akan merasa ingin selalu tinggal dalam dekapan kasih Tuhan setiap hari (living in God presence everyday).
G.
Teknik Dasar
Memimpin Pujian dan Penyembahan Kreatif Dalam Ibadah Anak
Bertolak
dari pemahaman di atas, mengenai pentingnya penatalayanan pujian dan
penyembahan dalam ibadah anak, maka berikut ini akan dijelaskan teknik memimpin
pujian dan penyembahan dalam ibadah sekolah minggu, agar anak menikmati suasana
pujian dan penyembahan dengan penuh sukacita dan menyenangkan hati Tuhan:
- Nyanyian dengan gerakan, banyak lagu-lagu sekolah minggu yang dapat
dinyanyikan dengan disertai gerakan. Misalnya, lagu Biarpun Gunung-Gunung
Beranjak, Yesus di dalam rumahku, Happy ya ya, dan sebagainya.
- Nyanyian dengan simulasi, maksudnya lagu yang dinyanyikan disertai
aktifitas anak. Misalnya, lagu Jalan Serta Yesus, Aduh Senangnya Naik
Kereta, dan sebagainya.
- Nyanyian dengan kata yang dihilangkan, yaitu salah satu kata dalam lagu tidak
dinyanyikan. Misalnya, lagu Yesus Sayang Semua menjadi Yesus ... Semua
(kata sayang dihilangkan, bisa diganti dengan kata “eem” atau istilah lain
sebagai variasi dalam menyanyikan lagu tersebut).
- Sapu tangan yang diedarkan, misalnya untuk memberikan variasi gerakan pada
lagu Kasih-Nya seperti Sungai.
- Kanon, yaitu
lagu yang dinyanyikan secara bersahutan, Misalnya lagu Memuji Tuhan selalu,
Rukun Cinta, dan sebagainya.
- Duduk berkelompok atau berbaris secara berurutan, Misalnya lagu Hari ini hari-Nya Tuhan, Do Little Motion 123, Matius Markus
Lukas, Singing Glory Praise The Lord,
dan sebagainya.
H.
Persiapan Teknis Memimpin Pujian dan
Penyembahan Dalam Ibadah Anak
Persiapan
teknis mutlak diperlukan sebelum mengawali pelayanan pujian dan penyembahan
dalam ibadah anak agar berlangsung tertib dan tercipta suasana yang penuh
sukacita, sehingga setiap anak yang hadir merasakan lawatan Tuhan atas hidup
mereka. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Persiapkan lagu-lagu yang akan dinyanyikan. Daftar dan
ingatlah urutannya serta sesuaikan dengan tema cerita sekolah minggu.
2. Adakan latihan dengan pemain musik sesuai jadwal yang
telah disepakati bersama.
3. Kuasai lirik lagu yang akan dinyanyikan.
4. Semangat, kesungguhan hati, dan kerendahan hati mutlak
diperlukan dalam memimpin pujian dan penyembahan, serta usahakan jangan
terpengaruh keadaan yang dapat mengganggu konsentrasi anak dalam memuji Tuhan.
5. Perhatikan kebersihan dan kerapian pakaian, kebersihan
badan, gigi, kuku, rambut dan sepatu. Mengapa ini merupakan bagian yang penting
untuk diperhatikan? Karena usia anak adalah masa meniru atau imitasi, seperti
yang telah dijelaskan di pembahasan awal makalah ini. Jadi, penampilan diri
setiap pelayan, akan menjadi contoh atau teladan bagi anak-anak yang sedang
dilayani.
6. Jelaskan kata-kata baru atau lirik dalam pujian yang
tidak dimengerti anak-anak. Kemampuan berbahasa dan sensori motorik anak masih
belum sempurna seperti orang dewasa, jadi bantu mereka untuk menerjemahkan
maksud dari setiap lirik lagu yang dinyanyikan; termasuk ajarlah mereka secara
perlahan dan bertahap untuk menguasai lagu-lagu baru, jika pemimpin pujian
menghendaki lagu baru untuk dinyanyikan bersama dengan anak-anak yang sedang
dilayani.
7. Datanglah lebih awal sekitar 10-15 menit sebelum
ibadah sekolah minggu dimulai, dengan tujuan untuk menyambut anak-anak yang
hadir, mengadakan doa persiapan sebelum melayani bersama dengan para pelayan
anak yang lain, mempersiapkan ruang ibadah, serta mempersiapkan segala sesuatunya yang
berkaitan dengan materi atau alat peraga yang akan digunakan untuk bercerita.
I.
Variasi
Alternatif Ibadah Anak dan Jenis Lagu Yang Tepat Untuk Dinyanyikan
Agar tidak
mengalami suatu kejenuhan atau rutinitas yang membosankan, maka dalam ibadah
anak perlu dipikirkan beberapa variasi pujian dan penyembahan yang disesuaikan
dengan variasi acara dalam Ibadah anak, baik yang diadakan di dalam ruangan
maupun di luar ruangan. Berikut ini akan dijelaskan beberapa alternatif variasi
acara ibadah anak dan lagu yang tepat untuk dinyanyikan sesuai dengan format
ibadah dan tema acara tersebut (Rajawali Kecil, 2009):
1. KKR Anak
Acara KKR Anak bisa dilakukan sebulan sekali, tiga
bulan sekali, dan sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan gereja lokal. Acara
KKR bisa juga dilakukam pada acara Malam Pengurapan, Retreat, Perayaan Paskah,
dan sebagainya. Untuk acara-acara seperti itu, lebih baik pilihlah lagu-lagu
yang serius, lagu-lagu penyembahan atau lagu pujian seperti lagu-lagu pada
ibadah dewasa. Hindari lagu yang menjurus pada simulasi, kecuali bila
diperlukan sebagai ice breaker.
2. Ibadah Anak Ceria
Acara ini bisa dilakukan pada kebaktian Minggu, Rabu Ceria,
Sekolah Injil Liburan, dan sebagainya. Dalam acara ini lagu-lagu bertempo
lambat (slow beat) sebaiknya hanya
dinyanyikan sebelum doa pembukaan, sebelum cerita dan sesudah cerita. Baik juga
bila digunakan lagu dengan gerakan atau sedikit simulasi.
- Keakraban dan Permainan (fun games)
Hampir sama dengan poin kedua, acara ini bisa
dilakukan pada kebaktian Minggu (dalam kebaktian gabungan atau perayaan ulang
tahun anak), malam apresiasi anak, kids bible
camp, dan sebagainya. Dalam acara ini perbanyak lagu dengan simulasi untuk
meningkatkan keakraban di antara murid-murid Sekolah Minggu, apalagi bila peserta
yang hadir terdiri atas beberapa gereja yang berasal dari luar sebagai tamu undangan.
J.
Pengetahuan
Dasar Tentang Psikologi Perkembangan Anak
Sebagian
orang berpendapat bahwa mengajar di Sekolah Minggu bukanlah pekerjaan yang
sukar. Anggapan seperti inilah yang sering menjadi penyebab kegagalan dalam
mengajar. Karena disamping persiapan mengajar yang matang, seorang Guru Sekolah
Minggu dituntut untuk memahami dan memerhatikan perkembangan Psikologi Anak
berdasarkan usianya. Hal ini akan berpengaruh pada teknik mengajar yang harus
digunakan sesuai dengan perkembangan usia mereka. Dari berbagai ahli yang
menyusun tentang tingkat perkembangan anak, ada dua model yang sangat
berpengaruh dalam pengajaran di Sekolah Minggu.
Dengan mempertimbangkan batasan umum Sekolah Minggu, maka dalam pembahasan inipun dibatasi sampai pada usia pra-remaja dengan perkembangan normal, berdasarkan 2 (dua) teori perkembangan anak, yaitu teori Perkembangan Kognitif dan Teori Perkembangan Psycho-Social. Berikut ini akan dijelaskan kedua bentuk teori tersebut:
Dengan mempertimbangkan batasan umum Sekolah Minggu, maka dalam pembahasan inipun dibatasi sampai pada usia pra-remaja dengan perkembangan normal, berdasarkan 2 (dua) teori perkembangan anak, yaitu teori Perkembangan Kognitif dan Teori Perkembangan Psycho-Social. Berikut ini akan dijelaskan kedua bentuk teori tersebut:
§
Teori Perkembangan Kognitif
Menurut
PIAGET (1896-1980), seorang psikolog berkebangsaan Swiss, membagi psikologi perkembangan
anak ini ke dalam 4 tahap yang dinamakan dengan Teori Perkembangan Kognitif,
yaitu:
1. Sensori Motor (usia 0-2
tahun)
Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak.
Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya. Dalam usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah 'menangis'. Menyampaikan cerita/berita Injil pada anak usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak (panggung boneka akan sangat membantu).
Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak.
Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya. Dalam usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah 'menangis'. Menyampaikan cerita/berita Injil pada anak usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak (panggung boneka akan sangat membantu).
2. Pra-operasional (usia 2-7
tahun)
Pada usia ini anak menjadi 'egosentris', sehingga berkesan 'pelit', karena ia tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru orang di sekelilingnya. Meskipun pada saat berusia 6-7 tahun mereka sudah mulai mengerti motivasi, namun mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis dan rumit. Dalam menyampaikan cerita harus ada alat peraga.
Pada usia ini anak menjadi 'egosentris', sehingga berkesan 'pelit', karena ia tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru orang di sekelilingnya. Meskipun pada saat berusia 6-7 tahun mereka sudah mulai mengerti motivasi, namun mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis dan rumit. Dalam menyampaikan cerita harus ada alat peraga.
3. Operasional Kongkrit (usia
7-11 tahun)
Saat ini anak mulai meninggalkan 'egosentris'-nya dan dapat bermain dalam kelompok dengan aturan kelompok (bekerja sama). Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang sistematis. Namun dalam menyampaikan berita Injil harus diperhatikan penggunaan bahasa. Gunakan bahasa sederhana agar mudah dimengerti dan selingi dengan humor yang positif agar anak tetap semangat dan fokus mendengarkan cerita.
Saat ini anak mulai meninggalkan 'egosentris'-nya dan dapat bermain dalam kelompok dengan aturan kelompok (bekerja sama). Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang sistematis. Namun dalam menyampaikan berita Injil harus diperhatikan penggunaan bahasa. Gunakan bahasa sederhana agar mudah dimengerti dan selingi dengan humor yang positif agar anak tetap semangat dan fokus mendengarkan cerita.
4. Operasional Formal (usia 11
tahun ke atas)
Pengajaran pada anak pra-remaja ini menjadi sedikit lebih mudah, karena mereka sudah mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu menggunakan alat peraga. Namun kesulitan baru yang dihadapi guru adalah harus menyediakan waktu untuk layanan konseling pribadi, agar guru dapat memahami pergumulan yang sedang mereka hadapi ketika memasuki usia pubertas.
Pengajaran pada anak pra-remaja ini menjadi sedikit lebih mudah, karena mereka sudah mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu menggunakan alat peraga. Namun kesulitan baru yang dihadapi guru adalah harus menyediakan waktu untuk layanan konseling pribadi, agar guru dapat memahami pergumulan yang sedang mereka hadapi ketika memasuki usia pubertas.
§ Teori Perkembangan Psycho-Social
Menurut ERICK H. ERICKSON (1902-1994), seorang psikolog berkebangsaan Jerman, yang secara khusus mempelajari teori perkembangan Psycho-social atau perkembangan jiwa manusia yang dipengaruhi oleh masyarakat. Erickson membagi teori tersebut menjadi 8 tahap, namun hanya 4 (empat) tahap saja yang akan dibahas dalam makalah ini karena disesuaikan dengan batasan usia sekolah minggu, sebagai berikut:
Menurut ERICK H. ERICKSON (1902-1994), seorang psikolog berkebangsaan Jerman, yang secara khusus mempelajari teori perkembangan Psycho-social atau perkembangan jiwa manusia yang dipengaruhi oleh masyarakat. Erickson membagi teori tersebut menjadi 8 tahap, namun hanya 4 (empat) tahap saja yang akan dibahas dalam makalah ini karena disesuaikan dengan batasan usia sekolah minggu, sebagai berikut:
1. Trust >< Mistrust
(usia 0-1 tahun)
Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa percaya diri. Fokus terletak pada panca indera, sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan dari orang tua dan guru Sekolah Minggu.
Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa percaya diri. Fokus terletak pada panca indera, sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan dari orang tua dan guru Sekolah Minggu.
2. Otonomi/Mandiri ><
Malu/Ragu-ragu (usia 2-3 tahun)
Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa pemberontakan anak atau masa 'nakal'. sebagai contoh langsung yang terlihat adalah mereka akan sering berlari-lari dalam Sekolah Minggu. Namun kenakalannya itu tidak bisa dicegah begitu saja, karena ini adalah tahap dimana anak sedang mengembangkan kemampuan motorik (fisik) dan mental (kognitif), sehingga yang diperlukan justru mendorong dan memberikan tempat untuk mengembangkan motorik dan mentalnya. Media gambar dan mewarnai merupakan salah satu media belajar yang bisa membantu mereka untuk fokus terhadap materi cerita yang disampaikan oleh guru Sekolah Minggu. Pada saat ini anak sangat terpengaruh oleh orang-orang penting di sekitarnya (orang tua dan guru Sekolah Minggu).
Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa pemberontakan anak atau masa 'nakal'. sebagai contoh langsung yang terlihat adalah mereka akan sering berlari-lari dalam Sekolah Minggu. Namun kenakalannya itu tidak bisa dicegah begitu saja, karena ini adalah tahap dimana anak sedang mengembangkan kemampuan motorik (fisik) dan mental (kognitif), sehingga yang diperlukan justru mendorong dan memberikan tempat untuk mengembangkan motorik dan mentalnya. Media gambar dan mewarnai merupakan salah satu media belajar yang bisa membantu mereka untuk fokus terhadap materi cerita yang disampaikan oleh guru Sekolah Minggu. Pada saat ini anak sangat terpengaruh oleh orang-orang penting di sekitarnya (orang tua dan guru Sekolah Minggu).
3. Inisiatif >< Rasa
Bersalah (usia 4-5 tahun)
Dalam tahap ini anak akan banyak bertanya dalam segala hal, sehingga berkesan cerewet. Pada usia ini juga mereka mengalami pengembangan inisiatif atau ide, sampai pada hal-hal yang berbau fantasi. Mereka sudah lebih bisa tenang dalam mendengarkan Firman Tuhan di Sekolah Minggu.
Dalam tahap ini anak akan banyak bertanya dalam segala hal, sehingga berkesan cerewet. Pada usia ini juga mereka mengalami pengembangan inisiatif atau ide, sampai pada hal-hal yang berbau fantasi. Mereka sudah lebih bisa tenang dalam mendengarkan Firman Tuhan di Sekolah Minggu.
Industri (Rajin) >< Inferioriti (usia 6-11 tahun)
Anak usia ini sudah mengerjakan tugas-tugas sekolah dan termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk kurang hati-hati dan menuntut perhatian.
Anak usia ini sudah mengerjakan tugas-tugas sekolah dan termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk kurang hati-hati dan menuntut perhatian.
5. Namun, Mereka sudah lebih tenang dan fokus dalam
mendengarkan Firman Tuhan di Sekolah Minggu serta mulai mampu menghafal
beberapa ayat hafalan yang telah dipersiapkan oleh guru.
DAFTAR REFERENSI
Erikson,
Erik H. (2010). Childhood and Society.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijanarko,
Jarot. (2001). Visi
Pelayanan Anak: Membangun Generasi Baru. Jakarta:
Suara Pemulihan.
Tim
Guru Sekolah Minggu Sabda. “Materi
Pengenalan Sekolah Minggu”. Available from http://www.pesta.org;
Internet; accessed 27 Desember 2011.
Tim
Guru Sekolah Minggu Rajawali Kecil. “Mitra
Guru, Sahabat Anak”. Available from http://www.rajawalikecil.com;
Internet; accessed 28 Desember 2011.
Tim Guru
Sekolah Minggu Pemuda Kristen. “Mengenali
Perkembangan Anak”. Available
from http://www.pemudakristen.com/artikel/sekolah_minggu.php;
Internet;
accessed 29 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar